Rabu, 13 Juni 2012

Kami Lepas Anak Kami. Karya: Sastrawan Gus Sakai


SEPERTI kemarin-kemarin, kami lepas anak kami di depan pintu. "Aku berangkat, Ayah, Ibu," katanya. "Berangkatlah, Nak," jawab kami. Seperti kemarin-kemarin, istriku membungkuk membantu menyandangkan tas ransel besar di punggung yang kecil, lalu berkata, "Hati-hati, Nak." Anak kami menjawab, "Aku akan hati-hati, Bu."
"Dadah."
"Dadah."
Anak kami membalikkan tubuh, lalu melangkah, tak menoleh-noleh lagi. Sampai berada di luar pagar, sampai sosok kecil itu lenyap membelok ke jalan utama kompleks kira-kira seratus meter di ujung gang, tak putus-putus kami ikuti dengan tatapan. Tatapan yang selalu diakhiri dengan gumam, desah, hela napas panjang. Lalu, sesudahnya, kami saling pandang. Tubuh kecil itu. Tas ransel besar itu....
***
TUBUH kecil itu, tas ransel besar itu...seperti kemarin-kemarin, ke sanalah pikiran kami tak henti tertuju. Tentu, tentu pula kami disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Tetapi, pekerjaan yang itu-itu saja setiap hari berulang-ulang selalu sama, seolah tak lagi butuh pikiran kami untuk juga ikut bekerja. Maka tubuh kecil itu, tas ransel besar itu, bagai terus ada dan tampak nyata walau kami entah tengah sedang mengapa. Sampai siang, sampai sore, saat sosok itu kembali betul-betul ada, betul-betul nyata, ketika ia pulang, nongol di pintu seraya menyapa.
"Selamat sore Ayah, selamat sore Ibu, aku pulang."
"Selamat sore, Nak. Adakah kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja Ayah, aku baik-baik saja Ibu." Lalu, bergegas ia ke kamar. Ingin kami lanjutkan kalimat kami dengan, "Bekalmu, adakah kamu makan Nak? Kamu tidak lupa kan?" Tetapi, kami sudah tahu ia bakal menjawab, "Ada Yah, ada Bu, aku tidak lupa." Akan kami katakan agar ia mengeluarkan lalu meletakkan bekas tempat bekalnya, tapi telah lebih dulu ia muncul dari kamar menjinjing bekas tempat bekalnya lalu meletakkan di tempat biasa. Akan kami ingatkan agar ia istirahat sebentar dan kemudian mandi, tetapi belum sempat itu kami katakan ia telah kembali mencelat dari kamarnya, melesat ke kamar mandi.
Begitulah ia lebih cepat dari pikiran kami.
Begitulah ia kemudian telah duduk di meja belajar.
Dan lalu, tas ransel besar itu, segera ia keruk dan keluarlah buku-buku. Buku-buku. Buku-buku. Telah berapa ratus bukukah yang bertimpa masuk ke kepalanya? Atau telah berapa ribukah? Dan, telah sejak kapankah? Sejak TK? Atau sejak sebelum sekolah? Kami tak ingat. Tetapi, sampai pada usianya kini, 10 tahun, kelas 5 SD, hampir tak ada waktu yang ia lewati tanpa menulis atau membaca buku. Di sekolah. Di rumah. PR-PR itu. Tak henti-henti tak putus-putus. Sampai tengah malam. Sampai kami telah lebih dulu tidur. Dan itu semua, tak jarang, telah ia mulai sejak kami belum bangun. Sejak subuh. Sejak pagi buta....
***
SEJAK subuh, sejak pagi buta...itulah yang membuat kami tak tenang. Sampai tengah malam, sampai kami telah lebih dulu tidur, adakah itu patut bagi anak seusianya? Maka begitulah kami jadi khawatir. Jadi bertanya-tanya. Tidakkah mata pelajarannya terlalu banyak? Tidakkah gurunya berpikir ujian-ujian hafalan-hafalan PR-PR itu sangat tak cukup bagi waktunya? Dan yang diam-diam membuat kami waswas, lihatlah karakternya, tindak-tanduknya: tidakkah semakin berubah, kian hari kian tampak seperti mesin?
Maka, suatu hari, kami tak tahan lagi. Kami telah berdiskusi dan istriku setuju. Tak lama setelah sosok kecil itu lenyap membelok ke jalan utama kompleks di ujung gang, aku melangkah meninggalkan rumah mengikutinya. Aku ingin bertemu dengan wali kelasnya. Tentu akan sangat baik kalau bisa langsung kepala sekolahnya.
SD-nya, sekolah anak kami, tak begitu jauh. Tiga gang dari gang kami, dalam kompleks juga, sebuah gedung berlantai tiga dengan bangunan kelas berhadap-hadapan memanjang jauh ke dalam, hingga halamannya yang sempit tampak seperti lorong yang menceruk masuk dari pinggir jalan utama. Telah beberapa kali aku ke sini. Mungkin dua, atau tiga. Entah.
Kulangkahkan kaki ke pos piket, dan aku disambut oleh dua orang satpam. Sejak kapankah sekolah ini dijaga satpam? Seingatku pos piket ini hanya dijaga oleh guru yang sedang tak mengajar, lalu piket bergiliran.
Kuutarakan maksudku. Kepala Sekolah ternyata ada. Salah seorang satpam sigap bergerak, bergegas mengantarku. Kembali aku heran. Aku memang dibawa masuk melalui pintu gerbang, tetapi tidak ke ruang kepala sekolah yang rasanya masih kuingat.
Di balik gerbang, kami belok kanan. Menyusuri koridor. Di ujung koridor, ada tangga ke lantai dua yang disambut oleh semacam teras mirip lorong pendek ke kiri, yang juga tampak bagai ceruk. Di ujung ceruk itu, ada pintu. Pintu yang ganjil. Sangat lebar. Sangat tinggi. Pintu yang membuatku tiba-tiba juga merasa aneh ketika Si Satpam membukanya, lalu diam, bagai menunggu, seolah menyuruhku masuk sendiri. Aku ingin bertanya saat Si Satpam berkata, "Ya, Pak, terus saja. Pintu berikutnya. Bapak akan naik tangga, lalu belok kanan belok kiri beberapa kali."
Ragu, aku melangkah. Begitu berada di dalam, pintu besar di belakangku langsung tertutup. Aku tertegun, sejenak. Di balik sini ternyata memang bukan ruangan. Melainkan sungguh-sungguh berupa ceruk. Lorong, anak tangga....
***
LORONG, anak tangga..., perlahan kunaiki. Tanpa pintu, tanpa ventilasi, hanya diterangi oleh bohlam yang terpasang di langit-langit di puncak tangga. Sampai di puncak tangga, belok kanan, lorong, belok kiri, lalu naik tangga lagi. Kupikir di puncak tangga itulah aku akan melihat pintu yang dimaksud Si Satpam, ternyata belum. Masih lorong, belok kanan lagi, belok kiri, naik tangga...tiba-tiba, kembali aku merasa aneh.
Tangga ini...telah berapa? Empat, sejak dari bawah. Bukankah sekolah ini cuma berlantai tiga? Untuk naik ke lantai paling tinggi harusnya sudah selesai di puncak tangga kedua. Tetapi ini? Pastilah aku sudah berada di lantai lima. Dan masih ada lorong lagi. Lorong lebih panjang. Ataukah tiga lantai itu hanya di bagian depan? Hanya tampak depan? Sementara, di bagian belakang sekolah, ada beberapa lantai lagi yang olehku mungkin tak terperhatikan.
Di ujung lorong panjang itu, masih belok kiri... naik tangga lagi. Sudah lantai enam! Mendadak aku merasa waswas. Tidakkah aku telah tersesat? Jangan-jangan aku telah berada di gedung lain. Siapa tahu sekolah ini berhubungan dengan gedung-gedung lain di sekitar. Lokasi sekolah memang terletak dan dikelilingi perumahan kaya yang beberapa di antaranya, karena sangat tinggi, tampak bagai berjenjang. Jangan-jangan aku bakal nongol di rumah seseorang. Tetapi Si Satpam jelas sekali mengatakan pintu berikutnya. Bukankah aku belum bertemu satu pun pintu?
i lantai enam, belok kanan, lorong panjang lagi...pintu! Ya, di ujung lorong itu. Akhirnya.
Bergegas aku melangkah. Betulkah ini ruang kepala sekolah? Sama sekali tak ada tanda, tulisan Kepala Sekolah atau yang semacamnya. Hanya pintu besar yang persis sama dengan pintu di depan atau di bawah tadi, yang membuat tanganku jadi ragu untuk mengetuk. Tetapi, aku telah di sini. Maka aku pun mengetuk.
Tak ada jawaban. Kuketuk lagi. Juga tidak. Setelah tetap tidak beberapa kali, kudorong daun pintu besar itu. Tak terkunci. Kujengukkan kepala, dan betapa aku terkejut. Heran. Di belakang pintu sama sekali bukan ruangan. Melainkan sebuah teras, alam terbuka. Ragu, kulangkahkan kaki.
Ternyata bukan teras. Melainkan semacam balkon. Dan di bawah...kulihat pemandangan mencengangkan: hamparan lebar dengan rumah-rumah bertipe sama, dengan orang-orang tua yang juga tengah sama berada di depan rumah melepas anaknya. Kompleks perumahan! Kompleks perumahan di atas kompleks perumahan! Mungkinkah? Mungkinkah ada kompleks perumahan sederhana di atap kompleks perumahan kaya?
Kukucek-kucek mata. Jangan-jangan pemandangan ini hanya berasal dari semacam layar dan tak nyata. Tetapi benar-benar nyata. Di sebelah kanan balkon, ada tangga ke bawah menuju halaman, menuju jalan yang "menghubungkan" bangunan ini dengan rumah-rumah itu. Kuperhatikan lagi mereka, orang-orang tua yang tengah sama melepas anak-anaknya ke sekolah. Dan aku terkesiap. Terkesima. Semua orang-orang itu sama! Semua orang-orang tua dan semua anak-anak itu serupa! Dan yang sangat membuatku terkejut yang entah kenapa tiba-tiba baru kusadar: semua mereka berwajah sepertiku, istriku, dan anakku!
Tubuhku menggigil.
Ini pasti tak nyata.
Tanpa terasa, tubuhku merapat ke pagar balkon. Ingin lebih pasti, tak sadar juga, kakiku telah bergerak ke arah tangga di sebelah kanan itu. Kujulurkan kaki, melangkah turun, dan tersadar saat tak menginjak apa-apa. Anak tangga itu...sama sekali tak ada! Tapi terlambat. Keseimbanganku telanjur hilang. Dan tubuhku terjatuh, melayang. Sebelum segalanya gelap, kudengar langkah-langkah. Wajah-wajah aneh. Percakapan yang asing. Suara dengung seperti mesin. Lalu bunyi denyut ganjil yang tambah melemah: bip-bip...bip-biip...biip-biiip....
***
SEPERTI kemarin-kemarin, ia lepas anaknya di depan pintu. "Aku berangkat, Ayah, Ibu," kata si anak. "Berangkatlah, Nak," jawabnya. Seperti kemarin-kemarin, istrinya membungkuk membantu menyandangkan tas ransel besar di punggung yang kecil, lalu berkata, "Hati-hati, Nak." Si anak menjawab, "Aku akan hati-hati, Bu."
"Dadah."
"Dadah."
Anaknya membalikkan tubuh, lalu melangkah, tak menoleh-noleh lagi. Sampai berada di luar pagar, sampai sosok kecil itu lenyap membelok ke jalan utama kompleks kira-kira seratus meter di ujung gang, tak putus-putus ia ikuti dengan tatapan. Tetapi begitulah: tak ada lagi gumam, desah, hela napas panjang. Pun tak ada lagi saling pandang. Hanya waktu yang bagai melengang. Dan denyut itu, bip-bip, bip-bip, kadang pendek kadang panjang....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar